Bentukbangunan utamanya adalah tajug lambang teplok dengan atap berbentuk tumpang tiga yang merupakan filosofi Jawa dengan nilai-nilai Islam seperti Hakekat, Ma'rifat, dan Syariat. Lihat Foto Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. (DIMAS WARADITYA NUGRAHA) Masjid merupakan tempat ibadah utama bagi umat Islam. Dalam perkembangan Islamisasi di Nusantara, masjid mengalami akulturasi dalam segi bentuk bangunan dengan kebudayaan sebelumnya, yaitu kebudayaan Hindu-Buddha. Hal tersebut ditandai dengan adanya menara atau gapura pra-Islam seperti di Masjid Kudus, bentuk atap yang bersusun atau tumpang seperti Masjid Demak, dan warna bangunan yang serba merah dan kuning seperti Masjid Cheng Ho Dengan demikian, ciri-ciri masjid yang berakulturasi dapat dilihat dari menara, bentuk atap bersusun, hingga warna bangunan seperti merah dan kuning. Selainakulturasi bidang seni rupa, sejarah juga mencatat akulturasi Hindu, Buddha dan Islam juga terjadi dalam hal seni bangunan. Hal ini nyata terlihat misalnya pada bangunan pemujaan. Jika pada masa praaksara pemujaan terhadap arwah nenek moyang diwujudkan dengan bangunan punden berundak, pada masa Hindu-Buddha diwujudkan dalam bentuk candi. Umat muslim mengikuti pengajian Ramadan di serambi Masjid Agung Demak, Bintoro, Demak, Jawa Tengah, Ahad 20/5. JAKARTA - Para ulama penyebar tauhid Islam-Red di tanah Jawa memiliki kemampuan untuk mengharmonisasi kehidupan sosial di tengah masyarakat Hindu yang begitu dominan, ketika itu. Keunikan akulturasi semacam ini, setidaknya juga berakar pada Masjid Menara, Kudus, Kabupaten Kudus, yang terletak sekitar 35 kilometer sebelah timur kota bentuk atap berupa tajug tumpang tiga berbentuk segi empat, atap Masjid Agung Demak lebih mirip dengan bangunan suci umat Hindu, pura yang terdiri atas tiga tajug. Baca Keunikan Arsitektur Masjid Agung Demak Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan tajug tertinggi berbentuk limas dengan sisi kemiringan lebih pakar arkeolog menyebutkan, bentuk bangunan seperti ini dipercaya juga menjadi ciri bangunan di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Namun, penampilan atap masjid berupa tiga susun tajug ini juga dipercaya sebagai simbol Aqidah Islamiyah yang terdiri atas Iman, Islam, dan Ihsan. Bangunanbangunan masjid di Indonesia terbilang unik karena memadukan berbagai budaya yang saling mempengaruhi atau disebut sebagai akulturasi. Dirangkum detikTravel dari berbagai sumber, Selasa (28/4/2020) inilah sejumlah masjid di Indonesia yang mencerminkan akulturasi pada bangunannya. 1. Masjid Agung Demak. Foto: (Kurnia/detikTravel) Masjid Al-Anwar pada tahun 1930. Sumber KITLV, Digital Collections Universiteit membahas mengenai suatu bangunan yang merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan universal cultural universals manusia, dimana aspek ini merupakan bagian dari sistem peralatan hidup dan teknologi yang dibutuhkan oleh setiap manusia di dunia ini. Pada dasarnya, arsitektural merupakan susunan ruang yang dirancang untuk suatu kegiatan yang di integrasikan dengan harmonis ke dalam sebuah komposisi yang padu. Selain itu menurut Eko Budihardjo, arsitektur merupakan sebuah bangunan yang sistematis, indah, anggun, konteks wilayah Jakarta yang dahulunya bernama Batavia, munculah beragam kelompok masyarakat dengan beragam etnis yang saling berbaur antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing etnis tersebut memiliki kebudayaan yang khas antara satu dengan yang lainnya. Namun dalam perkembangan waktu, masyarakat yang tinggal di Batavia secara perlahan-lahan saling melebur menjadi satu kesatuan yang membentuk kebudayaan baru, termasuk dalam hal ini ialah teknik dalam membangun suatu Pembangunan Masjid Jami’ Al-AnwarMasjid Jami’ Al-Anwar yang terletak di Jalan Tubagus Angke Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta ini menyimpan begitu banyak kisah sejarah yang menjadikan masjid ini sebagai lambang akan keberagaman, keharmonian, dan keanggunan corak arsitekturnya. Pada awalnya, wilayah yang sekarang menjadi tempat dibangunnya masjid ini merupakan sebuah Kampung Bali, penamaan ini didasarkan atas mayoritas masyarakat yang tinggal kala itu merupakan masyarakat Bali, baik yang berstatus budak maupun yang berstatus sebagai orang merdeka vrijmen.Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena pada abad ke-17 dan 18 pemerintah Kolonial VOC membuat pemisahan atau segregasi permukima berdasarkan asal-usul tempat tinggal mereka. Namun demikian, pada periode selanjutnya usaha VOC dalam melakukan pemisahan kampung berdasarkan etnis tidak dapat dipertahankan. Hal ini karena masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut tidak hanya berinteraksi dengan berlandaskan hubungan antar etnis, namun lebih berdasarkan pada kepentingan sosial-ekonomi dan kedekatan geografis. Dalam hal ini, identitas etnis dalam masyarakat di Batavia tidak pernah terartikulasi dengan jelas. Dengan demikian, terjadilah pembauran antara masyarakat kampung Bali yang beragama Hindu dengan masyarakat lainnya. Dengan intensifnya pergaulan maupun interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Bali ini, maka terjadilah proses perkawinan antara penduduk laki-laki dengan para budak wanita dari etnis lain, termasuk dari masyarakat Bali. Di samping itu banyak pekerja tinggal di lahan garapannya di luar kampung, dimana orang Bali, Tionghoa, dan Jawa hidup tidak terpisah. Islamisasi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa maupun etnis lain terhadap masyarakat Hindu Bali juga mempercepat proses pembauran sehingga dalam waktu yang tidak cukup lama banyak masyarakat di Kampung Bali yang memeluk Agama Jami’ Al-Anwar dibangun pada tahun 1761. Terdapat perbedaan mengenai siapa yang membangun masjid ini. Pertama, menyatakan bahwa masjid ini dibangun oleh masyarakat Bali yang menikah dengan orang Tionghoa, dan arsitek yang mengerjakan desain masjid ini ialah seorang Tionghoa yang bernama Syeikh Liong Tan. Kedua, berpendapat bahwa masjid ini dibangun oleh seorang perempuan Tionghoa bernama Ny. Tan Nio yang pada saat itu memilih untuk masuk Islam11 dan bersuamikan orang ini berdasarkan bukti bahwa di belakang masjid ini terdapat makam seorang perempuan Tionghoa. Masuk Islamnya masyarakat Tionghoa tidak mengherankan karena setelah adanya peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1740 banyak orang Tinghoa yang kemudian masuk Islam karena untuk mencari keamanan dari peristiwa genosida kala Arsitektur Masjid Jami’ Al-AnwarAkulturasi pada bidang arsitektur menurut Ashadi terjadi dalam tiga keadaan yaitu, adaptasi, adopsi, dan sinergi. Proses adaptasi terjadi jika bentuk arsitektur lokal dominan terhadap bentuk arsitektur non-lokal, apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka prosesnya ialah adopsi. Dan jika keduanya dalam keadaan seimbang maka yang terjadi ialah sinergi. Apabila kita perhatikan secara mendetail pada masjid yang berukuran 12x12 meter ini terdapat banyak sekali perpaduan yang saling melengkapi satu sama lainnya secara seimbang dan saling ialah terdapat gaya atau corak arsitektur Jawa, Bali, Tionghoa, dan Belanda. Semua unsur-unsur tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat Kampung Bali pada saat itu sudah mengalami pembauran atau percampuran dengan masyarakat lainnya. Dari bagian luar bangunan eksterior terdapat atap yang berbentuk limasan dan bertumpeng dua punden berundak dimana struktur Tionghoa terlihat pada bagian detail atap tersebut. Keempat jurai pada kontruksi atap tumpeng ini bentuk keduanya tidak lurus, melainkan melengkung. Bentuk jurai melengkung ini jelas mendapat pengaruh kontruksi dari bangunan tradisional Tionghoa. Selain itu terdapat juga struktur penyangga rangka atap yang terbuka di bagian tengah-tengah antara rangka atap bawah dengan rangka atap atas yang mengingatkan pada arsitektur Tionghoa, yakni bernama masjid terdapat hiasan berbentuk sarang lebah dan mustoko yang merupakanbagian dari corak arsitektur Jawa. Sumber Koleksi ujung keempat sudut atap baik pada atap tumpeng pertama ataupun atap tumpeng kedua terdapat hiasan kayu berukir punggel yang mencuat ke atas. Hiasan ini banyak dijumpai dalam bangunan tradisional Bali terutama pada bangunan pura Hindu. Dan pada bagian bawah atap terdapat hiasan berbentuk sarang lebah tawon atau nanas-nanasan dan pada puncak atapnya terdapat kemuncak atau mustoko. Kedua hiasan ini banyak ditemukan pada bangunan tradisional masyarakat Jawa. Selain corak itu, terdapat juga pengaruh Belanda dalam eksterior bangunan masjid ini, dimana pintu utama yang simetris terbuat dari kayu yang megah, tinggi, serta lebar ini sangat mirip dengan kediaman masyarakat Belanda di Kali Besar. Pemilihan ukuran pintu ini didasarkan pada keperluan untuk mengalirkan udara sejuk kedalam bangunan masjid. Selain itu terdapat juga lima anak tangga yang menyerupai bangunan Gedung Arsip Nasional yang berarsitektur Belanda. Penempatan ukiran pada pintu bagian atas dan kusen pintu serta rangkaian anak tangganya juga sangat mirip dengan gerbang bangunan pura di ukiran a jour’ relief pada bagian pintu utama yang merupakanperpaduan dari corak Bali dan Belanda. Sumber Koleksi itu ornamen pada jendela masjid yang berupa tiang kayu bubut sangat mirip dengan balkon pada bangunan Belanda di Batavia. Keduanya berakulturasi dengan kebudayaan Jawa. Hal ini terlihat jelas dari adanya ukiran hasil pahatan a jour’ relief sulur tumbuh-tumbuhan di bagian atas pintu yang berbentuk bidang segi empat. Corak pahatan yang menggambarkan ornamen tumbuhan merupakan bagian yang sering ditemukan pada arsitektur Islam, hal ini karena Islam melarang adanya ornamen hewan dan manusia pada bangunan tempat ibadah. Menurut Djoko Soekiman, pada tahun 1730-an sepertiga dari daun pintu sebuah bangunan mewah termasuk masjid dipahat dengan a jour relief yang ruangan utama masjid pada ruangan ini terdapat empat tiang atau sering disebutsebagi saka guru. Sumber Koleksi arsitektur juga terletak di bagian dalam interior masjid. Tepat di bagian tengah bangunan terdapat empat buah tiang saka guru yang menyangga atap tumpang dua. Bentuk atap tumpang dan penggunaan saka guru dalam kontruksinya melambangkan cerminan dari corak arsitektur tradisional Jawa. Terdapat filosofi dibalik penggunaan saka guru pada masjid ini, bahwa keempat tiang masjid melambangkan empat sahabat Nabi Muhammad SAW. Pada bagian atas ruang yakni tepatnya di antara keempat saka guru ditutup dengan papan kayu dan di tengahnya digantungkan lampu hias. Papan kayu tersebut penuh dengan lukisan kaligrafi dengan tulisan Allah, Asmaul Husna, serta dinding sisi barat ruang utama terdapat mihrab dan mimbar. Pada bentuk mihrab berupa dinding yang menjorok ke dalam, sedangkan bentuk mimbar berupa dinding yang menjorok ke luar. Dalam bentuknya mihrab memiliki dua pilar yang tertanam di dinding kiri dan kanan. Di atas pilar mihrab terdapat lengkungan setengah lingkaran yang masing-masing bertumpu pada pilar di kanan dan kirinya. Selain itu pada bagian tengahnya terdapat semacam mahkota yang bertumpu diatas dua pilar. Corak ini merupakan bagian dari corak arsitektur kolonial dan mimbar masjid yang merupakan corak struktur arsitektur Belanda. Sumber Koleksi itu dalam mimbarnya terbentuk dua pilar di kanan dan kirinya yang hampir menyentuh bagian plafon. Selain itu di sisi dalam pilar mimbar terdapat bentuk yang hampir sama dengan bagian mihrab. Pada bagian mimbar pun juga merepresentasikan corak arsitektur Kolonial Eko. Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Kota. Jogjakarta Gajah Mada University Press. Pedoman Umum Merancang Bangunan. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama. S. Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta PT Mutiara Sumber Widya. 1999Mulyana, Deddy & Rakhmat Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Rineka Cipta. 2009Blackburn, Susan. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok Maasup Jakarta. Hendrik E. Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII. Depok Maasup Jakarta. 2012. Masjidini merupakan hasil perpaduan antara islam-jawa dengan hindu-buddha yang terletak pada bentuk bangunan utama masjid. Dimana ada tujuh lambang teplok dengan atap berbentuk tumpang tiga. Akulturasi dalam bidang ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari yang mana sangat mudah untuk kita amati dan pahami bersama. Di era
- Islam masuk ke Jawa melalui perdaganagn di kota-kota pelabuhan. Islam mulai dikenal di Pulau Jawa diperkirakan pada abad ke- 11 hingga 12 Masehi. Persebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa lepas dari peran Wali Songo. Ketika Sunan Kalijaga mengembangkan Kota Demak menjadi pusat perkembangan agama Islam, Sunan Kudus memutuskan berpisaj dan menyebarkan ajaran Islam di Kota dengan berkembangnya Kota Demak, Kota Kudus juga berkembang. Ajaran Islam diterima dengan mudah oleh masyarakat karena memberikan toleransi terhadap kebudayaan Hindu-Buddha dan animisme. Dalam buku Sejarah Peradaban Islam di Kudus 204 oleh Roes, Kota Kudus merupakan ibukota Kabupaten Kudus dengan luas sekitar 422,21 kilometer persegi. Baca juga Masjid Agung Banten, Materi Belajar dari Rumah TVRI 27 April SMP Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas sari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sunan Kudus memiliki cara yang bijaksana dalan Kudus menggunakan pendekatan fabian, yaitu menyesuaikan diri, menyerap, bersikap pragmatis, dan menempuh cara dengan melakukan kompromi parsial dengan semangat toleransi terhadap nilai-nilai budaya warga setempat yang kebanyakan memeluk agama Hindu. Salah satu sikap toleransi yang diajarkan Sunan Kudus yaitu pantang menyembelih sapi dan memakan dagingnya. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati warga masyarakat yang memelik agama Hindu. Bahkan sampai saat ini,masyarakat Kudus mengganti daging sapi dengan daging kerbau atau ayam. Baca juga Peninggalan Sejarah Kerajaan Cirebon Bentuk akulturasi budaya Masjid Menara Kudus tampak berbeda jika dibandingkan dengan masjid-masjid pada umumnya. Keunikan tersebut terlihat dari bangunan menara yang ada di sebelah tenggara masjid. Menara yang tersusun dari batubata merah tersebut meyerupai Nale Kulkul atau bangunan penyimpan kentongan di Bali. Melalui karakteristik inilah, Masjid Menara Kudus mencerminkan sikap tenggang rasa atau toleransi yang sudah ada sejak dahulu.
Dibagiandalam masjid terdapat kolam masjid, kolam yang disebut dengan padasan tersebut merupakan peninggalan kuno dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Menurut prasasti berbahasa Arab yang ada di atas mihrab, menunjukan bahwa masjid dibangun pada tahun 956 H atau 1549 Masehi. Harus anda ketahui bahwa arsitektur di masjid menara kudus sangat unik. Acculturation is the process of mixing or merging two different cultures into one new culture. One example of cultural acculturation is found in the architecture of Kasimuddin mosque located in Tanjung Palas, Bulungan Regency, North Kalimantan has a unique architectural form. This mosque is often known as the sultan's mosque because this mosque was built during the Bulungan Sultanate. The existence of this mosque is included in the Bulungan government's cultural tourism project plan. In addition to having a local cultural character, the architecture of this mosque is also influenced by other cultures. This research aims to examine cultural acculturation in the architecture of Kasimuddin Mosque. In addition, it is expected that this writing can be one of the references for the implementation of the next mosque restoration and the beginning of the next stage of research development. The research method used is qualitative method. With the form of data collection through field surveys, interviews, and some references from journals. This research was conducted on the Kasimuddin Mosque building. This mosque became one of the artifacts of the Bulungan sultanate and currently still serves as a place of worship as well as a cultural object. Various cultures influence the architecture of the mosque, including Javanese, Sumatran, Betawi, Malay, and European cultures. The occurrence of cultural acculturation because it is located in a coastal area where the area becomes a meeting place between nations. Therefore it is not surprising that in the Bulungan area there is acculturation of different cultures. Kasimuddin Mosque is one example of the result of cultural acculturation. As a cultural heritage building is expected to always be maintained, and considered both by the local government and the local community. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL PATRA ISSN 2684-947X E-SSN 2684-9461 2022 Publishing LPPM Institut Desain dan Bisnis Bali AKULTURASI BUDAYA PADA ARSITEKTUR MASJID KASIMUDDIN DI BULUNGAN, KALIMANTAN UTARA Afifah Nurul Jihad1, Agus Dody Purnomo2 1,2 Desain Interior, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Telkom e-mail afifahjihad agusdody Received Februari, 2022 Accepted April, 2022 Publish online Mei, 2022 Acculturation is the process of mixing or merging two different cultures into one new culture. One example of cultural acculturation is found in the architecture of Kasimuddin mosque located in Tanjung Palas, Bulungan Regency, North Kalimantan has a unique architectural form. This mosque is often known as the sultan's mosque because this mosque was built during the Bulungan Sultanate. The existence of this mosque is included in the Bulungan government's cultural tourism project plan. In addition to having a local cultural character, the architecture of this mosque is also influenced by other cultures. This research aims to examine cultural acculturation in the architecture of Kasimuddin Mosque. In addition, it is expected that this writing can be one of the references for the implementation of the next mosque restoration and the beginning of the next stage of research development. The research method used is qualitative method. With the form of data collection through field surveys, interviews, and some references from journals. This research was conducted on the Kasimuddin Mosque building. This mosque became one of the artifacts of the Bulungan sultanate and currently still serves as a place of worship as well as a cultural object. Various cultures influence the architecture of the mosque, including Javanese, Sumatran, Betawi, Malay, and European cultures. The occurrence of cultural acculturation because it is located in a coastal area where the area becomes a meeting place between nations. Therefore it is not surprising that in the Bulungan area there is acculturation of different cultures. Kasimuddin Mosque is one example of the result of cultural acculturation. As a cultural heritage building is expected to always be maintained, and considered both by the local government and the local community. Keywords Acculturation, Culture, Mosque, Kasimuddin Akulturasi merupakan proses percampuran atau penggabungan dua budaya yang berbeda menjadi satu budaya baru. Salah satu contoh akulturasi budaya terdapat pada arsitektur masjid Kasimuddin yang terletak di Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara memiliki bentuk arsitektur unik. Masjid ini sering dikenal dengan sebutan masjid sultan karena masjid ini dibangun pada masa kesultanan Bulungan. Keberadaan masjid ini masuk kedalam rencana proyek pariwisata budaya pemerintah Bulungan. Selain memiliki karakter budaya lokal, arsitektur masjid ini juga dipengaruhi oleh budaya lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji akulturasi budaya pada arsitektur Masjid Kasimuddin. Selain itu, diharapkan tulisan ini dapat menjadi salah satu referensi untuk pelaksanaan restorasi masjid berikutnya dan tahapan pengembangan penelitian berikutnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Dengan bentuk pengumpulan data melalui survei lapangan, wawancara, dan beberapa referensi dari jurnal. Penelitian ini dilakukan pada bangunan masjid Kasimuddin. Masjid ini menjadi salah satu artefak peninggalan kesultanan Bulungan dan saat ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus objek budaya. Berbagai budaya mempengaruhi arsitektur masjid, antara lain budaya Jawa, Sumatera, Betawi, Melayu, dan Eropa. Terjadinya akulturasi budaya karena terletak di daerah pesisir di mana daerah tersebut menjadi tempat pertemuan antar bangsa. Sehingga tidak mengherankan jika di daerah Bulungan terdapat akulturasi budaya yang berbeda. Masjid Kasimuddin adalah salah satu contoh hasil akulturasi budaya. Sebagai bangunan cagar budaya diharapkan selalu dijaga, dan diperhatikan baik oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Kata Kunci Akulturasi, Budaya, Masjid, Kasimuddin PENDAHULUAN Akulturasi adalah proses penggabungan atau penyatuan dua budaya yang saling bertemu dan saling mempengaruhi satu sama lain. Prosesnya terus berkesinambungan melalui komunikasi antara pendatang dengan lingkungan sosio budaya setempat. Akulturasi ini menghasilkan budaya baru tanpa menghapus budaya yang ada sebelumnya Mulyana, 2006; Ayuningrum, 2017. Budaya baru ini akan menambah keberagaman dan kekayaan budaya dalam satu daerah. Akulturasi budaya sangat memungkinkan terjadi di Nusantara khususnya di Kalimantan dikarenakan terletak di jalur perdagangan dunia. Pada abad ke 7 aktifitas perdagangan bangsa Arab sudah berlangsung dengan rute yang menghubungkan Laut Tengah dengan Cina. Rute pelayaran dan perdagangan Arab - Persia - India - dunia Melayu - Tiongkok. Kedatangan bangsa lain tersebut di Nusantara untuk berdagang dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya akulturasi budaya. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Bulungan, Kalimantan Utara dimana jejak kedatangan mereka bisa dilihat dari makam ulama yang bernama Sayyid Ahmad Maghribi di Salim Batu. Ulama tersebut diyakini berasal dari Arab Maroko Rahmadi, 2020; Sadono, 2020. Salah satu hasil akulturasi budaya yakni arsitektur masjid. Masjid merupakan tempat beribadah bagi umat muslim. Masjid di Indonesia sangat kental dengan pengaruh budaya berbagai suku di tanah air. Selain untuk beribadah, masjid juga sering digunakan untuk berbagai aktivitas bagi umat muslim. Kegiatan – kegiatannya antaralain pengajian, kegiatan berdakwah, dan acara keagamaan lainnya. Masyarakat juga memanfaatkan masjid sebagai tempat upacara pernikahan atau dalam Islam dikenal dengan akad nikah. Pada intinya perkembangan fungsi masjid sebagai tempat pembinaan, pengajaran, praktik sosial, pengamanan, dan benteng pertahanan umat Islam sehingga fungsinya mencakup pengertian sosial, budaya, dan politik Barliana, 2008. Sedangkan bentuk arsitektur masjid di Indonesia juga beragam sesuai dengan daerahnya dan budaya yang mempengaruhinya. Tidak heran jika dalam perkembangannya, masjid di Nusantara memiliki keragaman bentuk yang mencerminkan akulturasi budaya di dalamnya Sadono, 2020. Masjid Kasimuddin adalah salah satu masjid besar yang terletak di Tanjung Palas, kota Bulungan. Masjid ini merupakan salah satu peninggalan penting dari kebudayaan dan kesultanan Bulungan. Masjid tersebut mulai dibangun pada tahun 1897. Kemudian mulai diperbesar saat pemerintahan kesultanan dipegang oleh Sultan Maulana Muhammad Kasimuddin 1901-1925. Dan akhirnya masjid ini juga dikenal dengan nama masjid Kasimuddin. Masjid Kasimudin berdiri di atas tanah seluas 2500 m2. Saat ini, arsitektur masjid Kasimuddin masuk dalam proyek pemerintahan Kalimantan Utara. Dan terdaftar sebagai peninggalan budaya dan warisan Kesultanan Bulungan. Nama Bulungan’ merupakan nama salah satu suku yang bermukim di Kalimantan Utara. Suku tersebut adalah suku dengan ras Melayu yang kental. Pengaruh budaya Melayu dari Brunei Darussalam dan Malaysia Rahmadi, 2020. Sementara ada teori lain juga yang menyatakan bahwa pengaruh budaya Islam dibawa oleh bangsa Thailand, Laos, Kamboja dan negara sekitarnya Rifani, 2014; Kumayza, 2014. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji lebih lanjut tentang akulturasi budaya yang terdapat pada arsitektur masjid Kasimuddin. Akulturasi budaya yang ditampilkan melalui elemen arsitektur dan interiornya memiliki keunikan yang berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengenal keragaman bentuk arsitektur masjid di Nusantara. Selain itu juga dapat menjadi tahapan awal untuk pengembangan penelitian berikutnya. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penilitian kualitatif. Metode ini terdiri atas pengumpulan data melalui survei dan wawancara. Data primer diperoleh melalui survei lapangan dan wawancara dengan pengelola masjid. Sedangkan data sekunder diperoleh dari jurnal ilmiah, makalah seminar, buku literatur cetak maupun elektronik. Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis, kemudian ditarik kesimpulan. Lokasi penelitian dilaksanakan di komplek Masjid Kasimuddin yang terletak di jalan Kasimuddin, Tanjung Palas, kabupaten Bulungan, provinsi Kalimantan Utara. Bangunan berdiri di atas tanah dengan luas 2500 m2 dan bangunan memiliki ukuran 19 x 19 m2. Gambar 1. Arsitektur Masjid Kasimuddin [Sumber Dokumentasi Afifah,2021] HASIL DAN PEMBAHASAN Masjid Kasimuddin merupakan masjid peninggalan Kesultanan Bulungan sehingga pada arsitektur dan interior bangunannya banyak ditemukan unsur-unsur budaya yang kental di Bulungan. Bangunan Masjid ini menggunakan material kayu ulin baik pada struktur bangunan maupun elemen interior. Saat ini, Masjid ini menjadi salah satu proyek pengembangan Pemerintah Daerah Bulungan. Proyek ini direncanakan menjadi salah satu potensi pariwisata budaya di Kalimantan Utara. Akulturasi Budaya pada Arsitektur dan Interior Masjid Bentuk atap masjid Kasimuddin merupakan atap tumpang limasan dengan kubah pada bagian puncaknya. Seperti pada umumnya bentuk atap masjid di Nusantara yang memiliki bentuk tingkatan. Selain itu juga bermahkota wuwungan atau bubungan dari bahan terakota maupun jenis bahan yang sama dengan bahan atapnya. Namun pada masjid ini menggunakan mahkota kubah yang merupakan ciri khas dari masjid Timur Tengah. Bentuk atap tumpang mengingatkan kepada bentuk Meru gunung yang biasanya dikenal dalam budaya pra Islam misalnya masjid Agung di Demak dan masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon. Material kubah masjid adalah alumunium sedangkan atapnya menggunakan material sirap kayu ulin. Sirap kayu ulin merupakan material yang umum digunakan di provinsi Kalimantan Utara karena merupakan komoditi yang banyak tersebar di Kalimantan utara. Namun, material ini saat ini sudah jarang digunakan karena harganya mahal baik untuk pembuatan maupun pemeliharaannya. Gambar 2. Tampak Atap Masjid Kasimuddin [Sumber Dokumentasi Afifah, 2021] Bagian tengah bangunan terdapat empat tiang utama soko guru sebagai penyangga utama atap. Selain soko guru terdapat juga tiang-tiang pendukung berjumlah 12 yang tingginya lebih pendek dibandingkan soko guru. Keberadaan soko guru dan soko pendukung mengingatkan pada bentuk-bentuk bangunan pendopo pada arsitektur pra Islam. Gambar 3. Empat soko guru pada Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Pengaruh Jawa merupakan salah satu bukti bahwa adanya hubungan diplomasi antara kesultanan Bulungan dengan kesultanan Yogyakarta. Sementara lampu yang digunakan pada masjid dengan jenis chandelier merupakan lampu antik yang merupakan pengaruh budaya Eropa Belanda. Bangunan Masjid Kasimuddin ditopang oleh 16 tiang soko dengan material kayu ulin. Dan dari awal pembangunan tidak pernah diganti dikarenakan begitu kuat material tersebut. Kayu ulin ini sangat kuat dan dapat bertahan sampai puluhan tahun. Kayu tersebut banyak tersebar di Kalimantan Utara dan sangat umum digunakan pada bangunan-bangunan tradisional di Kalimantan Utara. Gambar 4. Kayu ulis sebagai tiang penyangga masjid [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Pada bagian fasad masjid, terdapat serambi sebelum memasuki area interior masjid. Deretan tiangnya dihubungkan bentuk lengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya. Bentuk lengkung setengah lingkaran merupakan pengaruh dari arsitektural dari Timur Tengah. Pada bidang fasad diberi warna putih dan lis berwarna hijau. Warna hijau identic dengan warna pada arsitektur Islam di Indonesia. Dinding masjid menggunakan material papan kayu ulin dengan finishing cat berwarna putih. Pada elemen lantainya menggunakan tegel pada area tengah masjid dan material keramik putih polos digunakan untuk lantai di sisi samping masjid. Gambar 5. Dinding dan Lantai Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Masjid memiliki bukaan berupa pintu yang disebut dengan istilah laweng. Laweng menggunakan material kayu yang menggunakan penggayaan vernakular khas Bulungan. Jenis mekanisme pintu masjid menggunakan mekanisme swing sederhana. Bukaan laweng menggunakan 2 daun pintu. Dengan laweng 2 daun pintu dapat membantu penghawaan di dalam ruangan. Masjid di Aceh memberikan pengaruh terhadap bukaannya. Namun, pada bukaan masjid di Aceh tidak terdapat daun pintu seperti di masjid ini. Model daun pintu yang digunakan merupakan pengaruh budaya Betawi. Selain pintu terdapat pula lobang angin pada bagian atas pintu. Gambar 6. Tampak Pintu/laweng Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Warna cat pada bangunan menggunakan warna putih, hijau, dan kuning keemasan. Warna – warna tersebut merupakan warna khas kesultanan Bulungan dan warna yang melambangkan budaya Bulungan. Warna kuning merupakan bukti dari pengaruh budaya. Warna kuning keemasan merepresentasikan warna padi yang menguning. Warna kuning merupakan simbol dari kemakmuran dan kejayaan. Warna putih merupakan lambang dari kesucian. Warna hijau adalah warna khas Islam. Warna ini lambang dari kedekatan agama Islam dan budaya Bulungan. Gambar 7. Bentuk lengkung pada fasad serambi masjid [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Mimbar adalah tempat dengan bentuk menyerupai singgasana yang biasa digunakan oleh ulama maupun petinggi agama untuk menyampaikan dakwah Islam. Mimbar juga sering menjadi vocal point di dalam masjid. Tidak heran jika mimbar masjid sering memiliki ukiran ataupun warna yang merepresentasikan budaya setempat. Mimbar masjid menggunakan material kayu. Warna yang dipakai adalah warna kuning dan biru. Mimbar ini sangat merepresentasikan dari budaya Bulungan. Gambar 8. Mimbar Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Akulturasi Budaya pada Ornamen Masjid Ornamen atau ukiran dapat ditemukan pada beberapa area interior masjid. Pada langit-langit masjid terdapat lis ukiran berisi asma’ul husna yang terdapat dalam Alqur’an. Lis ukiran ini mengelilingi area langit-langit diletakan di atas soko pendukung. Gambar 9. Ukiran pada langit – langit Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Lantai menggunakan material tegel dengan motif geometri berwarna hijau. Pengaruh budaya Eropa dapat dilihat pada lantai masjid ini. Diperkirakan bahwa tegel ini didapat dari pabrik tegel cap kunci yang berasal dari kota Yogyakarta. Sehingga ada kemiripan antara lantai tegel di Yogyakarta dengan lantai tegel masjid. Pabrik ini telah didirikan oleh Louise Maria Stocker dan Jules Gerrit Commane pada tahun 1927 Dewi, 2017; Budi, 2017. Pengetahuan akan tegel diperkenalkan oleh Belanda sehingga lantai tegel pada masjid merupakan pengaruh dari Eropa. Hal ini didukung dengan kerjasama antara Belanda, Sultan Kasimuddin, dan Habib Abdullah Al – Jupri dalam bisnis pengolahan minyak di Tarakan. Gambar10. Ukiran pada Lantai Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Ukiran lainnya terdapat di mihrab masjid. Ukiran yang melekat pada dinding masjid memiliki pola geometri yang membentuk ilusi flora. Warna yang digunakan adalah warna hijau, kuning, dan coklat. Warna – warna ini sangat dengan warna earth yang identik dengan kebudayaan Bulungan. Budaya Bulungan memang banyak dekat dengan alam karena Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Bulungan mengandalkan alam. Seperti pertanian, perkebunan, hutan, dan kelautannya. Gambar 11. Ukiran pada dinding Mihrab Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Pada mimbar masjid juga terdapat ukiran lainnya. Terdapat ukiran – ukiran stilasi flora pada bidang mimbar. Ornamentik flora umumnya bentuk lung-lungan. Ukiran – ukiran ini merupakan salah satu ukiran khas dari masyarakat Bulungan. Gambar 12. Ukiran pada Mimbar Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] KESIMPULAN Masjid Kasimuddin di Kabupaten Bulungan merupakan bukti akulturasi dari keragaman budaya di Indonesia. Walaupun suku Bulungan merupakan suku terbesar yang mendiami Kalimantan Utara, namun budayanya banyak mengadaptasi dari budaya-budaya lain baik dari daerah lain bahkan budaya bangsa lainnya. Hal ini dikarenakan masyarakat Bulungan merupakan masyarakat pesisir sehingga cenderung bersikap terbuka dan ramah dalam menerima pengaruh budaya lain. Masjid Kasimuddin merupakan bangunan peninggalan sejarah yang penting. Untuk itu harus tetap dirawat dan dilindungi sebagai aset budaya daerah Bulungan. Pemerintah setempat diharapkan dapat lebih aktif menjaga, melestarikan, serta mengembangkan cagar budaya bersejarah ini. Keterlibatan masyarakat juga dibutuhkan dalam mendukung pelestarian bangunan cagar budaya tersebut. Diharapkan masjid Kasimuddin dapat menjadi sumber inspirasi bagi arsitek dan desainer interior dalam mengembangkan desain masjid di Nusantara. DAFTAR PUSTAKA [1] Mulyana, D., & Jalaluddin, R. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung PT. Remaja Rosdakarya. [2] Al-Amri, L., & Haramain, M. 2017. Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal. KURIOSITAS Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan, 112, 87-100. [3] Ayuningrum, D. 2017. Akulturasi Budaya Cina dan Islam Dalam Arsitektur Tempat Ibadah di Kota Lasem, Jawa Tengah. Jurnal Sabda, 122, 122-135. [4] Barliana, M. Syaom. 2008. Perkembangan Arsitektur Masjid Suatu Transformasi Bentuk dan Ruang. HISTORIA Jurnal Pendidikan Sejarah, 092, 45-60. [5] Cahyandari, G,O,I. 2012. Tata Ruang dan Elemen Arsitektur pada Rumah Jawa di Yogyakarta sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas dalam Rumah Tangga. Jurnal Arsitektur Komposisi, 102. [6] Rahmadi. 2020. Membincang Proses Islamisasi di Kawasan Kalimantan Dari Berbagai Teori. Khazanah Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 182, 243 – 286. [7] Rifani, A, M., & Kumayza, T, N. 2014. Hari Budaya Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal ilmu Sosial Mahakam, 31, 1-18. [8] Sadono, S. & Purnomo, A. D. 2020. Akulturasi Budaya Islam dan Tionghoa Dalam Arsitektur Masjid Al Imtizaj Cikapundung Bandung. GORGA Jurnal Seni Rupa, 92, 438-443. [9] Saefullah, A. 2018. Masjid Kasunyatan Banten Tinjauan Sejarah dan Arsitektur. Jurnal Lektur Keagamaan, 161, 127 – 158. [10] Sholehah., & Christyanti, R, D. 2014. Tradisi Budaya pada Sistem Fisik Bangunan Rumah Sembau Suku Bulungan di Tanjung Palas Kalimantan Utara. PROKONS Jurnal Teknik Sipil, 102, 100-108. [11] Syamsiyah, N, R., & Muslim, A. 2018. Kajian Perbandingan Gaya Arsitektur dan Pola Ruang Masjid Surakarta dan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, 151. [12] Tanjung, R., Rudiansyah., & Chen, J. 2019. Masjid Lama Gang Bengkok Sebagai Simbol Multietnis Di Kota Medan. Journal of Art, Design, Education, And Culture Studies JADECS, 42, 95 – 103. [13] Zahra, F. 2017. Perpaduan gaya Arsitektur Eropa dan Timur Tengah pada Masjid Istiqlal Jakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBI. Cirebon, Indonesia. 219-226. [14] Dewi, F, W., & Budi, B, S. 2017. Ragam Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBI. Cirebon, Indonesia. 499 – 504. [15] Simas Kemenag. Masjid Kasimuddin. URL Diakses tanggal 6 Agustus 2021. [16] Bpcbkaltim. 2016. Masjid Kasimuddin. URL Diakses tanggal 10 Agustus 2021. [17] Muffid, M., Supriyadi, B., & Rukayah, R, S. 2014. Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. MODUL, 142, 65 – 70. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Diah AyuningrumThe Interaction of Chinese culture and Islam has been going on since four hundred years ago. Tolerance between indigenous people, Chinese, and Moslem is well preserved until now. One of them is the architectural town of Lasem and the house in China town area - a typical Chinese style house found in Lasem. Homes, places of worship like temples are also typical Chinese style also prove the occurrence of cultural acculturation in Lasem. The roof of Masjid Jami Lasem is a major proof of acculturation between Islamic and Chinese SaefullahKasunyatan Mosque is one of the historic ancient mosques in Banten. Its existence is less popular than Masjid Agung the Great Mosque of Banten in Banten Lama, although both are one of the religious tourism destinations for Indonesian people. At the time of the Sultan Shaykh Maulana Yusuf, the second Sultan of the Sultanate of Banten, ruled between 1570-1780 AD, Kasunyatan Mosque is well known as a center of religious and scientific activities other than the Keraton Surosowan and Banten Lama. Across this mosque there is the Tomb of Sultan Shaykh Maulana Yusuf which is crowded by the public. This research paper endeavors to describe of how Kasunyatan Mosque in Banten as one of historic places of worship. The research uses historical and architectural approach in understanding and analysing data. Based on this research, it is understood that the Kasunyatan Mosque shows its ancient features in its rectangular shape, solid or massive foundations, thick walls, short mihrab, and pulpits and the Friday sermons in the form of a double-edged sword. Although it has renovated and improved, but the original structure remains visible and its authenticity is maintained. On the southwest side there is also a massive tower, as one of the hallmarks of ancient tower buildings. One of the legacies that is still passed by the present generation is in case of educative and religious function of the mosque itself as a center of religious teaching and learning in which the Madrasah Diniyah religious School and regular religious study majlis taklim is built and being carried out up to now, besides enabling for other religious activities and ceremonies such as regular religious teaching, the commemoration of Islamic Memorial Days such as Mawlid an-Nabi Celebrating Prophet Muhammad's Birthday, Isra Mi’raj, Orphans Benefit, and also the haul of Shaykh Maulana Kasunyatan, Ancient Mosque, Banten, Maulana Yusuf, Architecture, historical and architectural perspective Masjid Kasunyatan merupakan salah satu masjid kuno bersejarah di Banten. Keberadaannya kurang popular dibandingkan dengan Masjid Agung Banten di Banten Lama, meskipun dua-duanya merupakan salah satu tujuan wisata religi bagi sebagian masyarakan Indonesia. Pada masa Sultan Syekh Maulana Yusuf, sultan kedua dari Kesultanan Banten, berkuasa antara 1570-1780 M., Masjid Kasunyatan dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan dan keilmuan selain di sekitar Keraton Surosowan dan Banten Lama. Di seberang masjid ini terdapat Makan Sultan Syekh Maulana Yusuf tersebut yang ramai diziarahi masyarakat. Berdasarkan penelusuran, Masjid Kasunyatan memperlihatkan ciri-ciri kekunoannya pada bentuknya yang segi empat, fondasi padat atau massif, dinding tebal, mihrab pendek, dan mimbar serta tongkat khotib Jum'at berupa pedang bermata dua. Meskipun telah mengalami perbaikan, tetapi struktur aslinya tetap terlihat dan keasliannya dipertahankan. Di sisi sebelah barat daya terdapat juga menara yang massif, sebagai salah satu ciri bangunan menara kuno. Salah satu peninggalannya yang tetap diteruskan oleh generasi sekarang adalah dalam hal pemeranan fungsi pendidikan dan keagamaan, dimana Madrasah Diniyah dan pengajian rutin dibangun dan diselenggarakan, selain untuk pelaksanaan berbagai acara kegiatan keagamaan seperti peringatan hari-hari besar keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra Mikraj, Santunan Anak Yatim, dan juga acara haul Syekh Maulana Kunci Kasunyatan, Masjid Kuno, Banten, Maulana Yusuf, Arsitektur Gerarda Orbita Ida CahyandariTraditional houses resemble classification according to social status of the owner. Traditional house is a manifestation of symbolic and cultural meaning. Javanese traditional houses are represented in certain orders and characteristics. “Ndalem” in the form of “Joglo” is a type of high status. “Limasan” and “Kampung” are houses for medium and low status. Activities in a house reflect social inter-relationship in a family. Javanese people are categorized as patrileneal family systems that have cultural determination in domestic roles. The analysis requires historical data, pattern of activity, and architectural elements and symbols. Mapping of activities draws housing classification. “Dalems” and “joglos” have spaces to support social activity and define the roles. Houses in lower classification show balance of the social classification, Javanese traditional house, domestic rolesAbstrak Rumah tradisional mencitrakan status sosial pemilik yang juga berarti bahwa rumah tradisional memiliki makna simbolis dan kultural. Rumah trdisional Jawa diwujudkan dalam aturan dan karakteristik tertentu. Rumah “Joglo” dalam bentuk “Ndalem” berada pada status sosial pemilik yang tinggi, sedangkan Limasan dan Kampung dimiliki oleh kaum biasa dan rakyat jelata. Aktivitas dalam rumah mencerminkan hubungan social dalam suatu rumah tangga. Keluarga jawa termasuk penganut system patrilineal yang berpengaruh pada peran domestik. Analisis menggunakan data historis, pola aktivitas, dan elemen serta simbol arsitektural. Pemetaan aktivitas menunjukkan klasifikasi bangunan. Ndalem dan joglo memiliki ruang yang mendukung aktivitas dan peran sosial. Rumah dalam klasifikasi yang lebih rendah, menunjukkan peran domestik dan sosial yang kunci klasifikasi sosial, rumah tradisional Jawa, aktivitas rumah tanggaM BarlianaSyaomBarliana, M. Syaom. 2008. Perkembangan Arsitektur Masjid Suatu Transformasi Bentuk dan Ruang. HISTORIA Jurnal Pendidikan Sejarah, 092, 2020. Membincang Proses Islamisasi di Kawasan Kalimantan Dari Berbagai Teori. Khazanah Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 182, 243 -286. Budaya Kabupaten Kutai KartanegaraA RifaniM KumayzaRifani, A, M., & Kumayza, T, N. 2014. Hari Budaya Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal ilmu Sosial Mahakam, 31, Lama Gang Bengkok Sebagai Simbol Multietnis Di Kota MedanR TanjungRudiansyahJ ChenTanjung, R., Rudiansyah., & Chen, J. 2019. Masjid Lama Gang Bengkok Sebagai Simbol Multietnis Di Kota Medan. Journal of Art, Design, Education, And Culture Studies JADECS, 42, 95 Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBIF DewiW BudiDewi, F, W., & Budi, B, S. 2017. Ragam Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBI. Cirebon, Indonesia. 499 Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa CirebonM MuffidB SupriyadiR RukayahMuffid, M., Supriyadi, B., & Rukayah, R, S. 2014. Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. MODUL, 142, 65 -70.
О ዮзвуግθկАւοտիτը ዘоሶυው ኔк
ቹ аш ուጆΠочዐмеп казвυкоւеγ
Դէл ውАኑэнዣվо ζаնец
Уσиδጺժ ескоቦεլиՑийብኁաκε ա
Оղуձω еκաԵ дисвեцե
. 326 391 51 423 412 305 425 3

bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi dalam bidang